Nationalgeographic.co.id—Dunia sedang menghadapi tantangan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya. Suhu global terus meningkat, cuaca ekstrem semakin sering terjadi, dan ekosistem di seluruh planet berada di bawah tekanan yang luar biasa.
Di tengah krisis ini, muncul istilah "net zero" sebagai solusi yang diharapkan dapat menyelamatkan masa depan bumi. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan net zero?
Apakah ini sekadar tren sesaat atau langkah krusial yang harus diambil umat manusia? Selain itu, mengapa net zero begitu penting? Mengapa negara-negara di seluruh dunia berlomba-lomba menetapkan target net zero?
Untuk pemahaman yang lebih dalam, Anda dapat membaca isi lengkap dari artikel ini.
Memahami Konsep 'Net Zero'
Konsep "net zero", seperti dilansir BBC, mengacu pada sebuah kondisi krusial di mana aktivitas manusia tidak lagi menambah jumlah total gas rumah kaca yang terakumulasi di atmosfer bumi. Untuk mencapai tujuan yang sangat penting ini, langkah fundamental yang harus diambil adalah dengan secara drastis mengurangi emisi gas rumah kaca dari berbagai sumber sejak awal.
Walaupun upaya pengurangan emisi menjadi prioritas utama, realitasnya adalah tidak semua emisi dapat dihilangkan sepenuhnya dalam waktu dekat. Oleh karena itu, emisi yang masih tersisa setelah upaya pengurangan maksimal harus dihilangkan secara aktif melalui berbagai metode penghilangan karbon.
Gas rumah kaca yang menjadi perhatian utama dalam isu perubahan iklim ini meliputi karbon dioksida (CO2) dan metana. Karbon dioksida, sebagai salah satu gas rumah kaca yang paling signifikan, dilepaskan ke atmosfer ketika bahan bakar fosil seperti minyak, gas alam, dan batu bara dibakar untuk memenuhi kebutuhan energi di rumah tangga, menjalankan operasional pabrik, dan menggerakkan berbagai moda transportasi.
Sementara itu, metana, gas rumah kaca lainnya yang juga berkontribusi terhadap pemanasan global, dihasilkan melalui berbagai aktivitas seperti pertanian, pengelolaan tempat pembuangan sampah, serta dari sumber-sumber lainnya yang terkait dengan kegiatan manusia dan proses alamiah.
Keberadaan gas-gas rumah kaca ini di atmosfer menimbulkan efek rumah kaca, di mana mereka memerangkap energi panas tambahan dan menyebabkan suhu global meningkat. Situasi ini diperparah dengan adanya deforestasi yang terjadi secara masif di berbagai belahan dunia, yang mengakibatkan penurunan jumlah pohon yang berperan penting dalam menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis.
Sebagai respons terhadap ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, pada tahun 2015, sebuah kesepakatan iklim bersejarah yang dikenal sebagai Perjanjian Paris 2015 lahir. Dalam perjanjian ini, hampir 200 negara di seluruh dunia bersepakat untuk bersama-sama berupaya membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C pada tahun 2100 mendatang.
Baca Juga: Salah Kaprah Konsep Net Zero, Buat Penghasil Emisi Merasa Bebas ‘Dosa Karbon’
Guna merealisasikan tujuan ambisius ini, menurut badan iklim PBB, yaitu IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), emisi CO2 secara global perlu mengalami penurunan yang sangat signifikan, hampir mencapai setengahnya pada tahun 2030, dan kemudian mencapai kondisi net zero pada tahun 2050.
Namun, ironisnya, meskipun telah ada komitmen internasional yang kuat ini, tingkat emisi gas rumah kaca secara global masih terus berada pada rekor tertinggi, menunjukkan tantangan besar yang masih harus dihadapi dalam upaya mencapai target iklim yang telah disepakati.
Bagaimana Karbon Dioksida Dapat Dihilangkan dari Atmosfer?
Terdapat beragam cara untuk menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer. Salah satu cara alami yang paling sederhana dan efektif adalah dengan melakukan reboisasi, yaitu menanam pohon sebanyak mungkin, serta memulihkan lahan gambut yang memiliki kemampuan alami dalam menyimpan karbon dalam jumlah besar.
Selain solusi alami ini, inovasi teknologi juga menawarkan harapan melalui pengembangan metode baru yang dirancang oleh manusia untuk secara aktif mengambil CO2 langsung dari udara. Metode-metode ini, meskipun masih berada dalam tahap awal pengembangan, menunjukkan potensi besar untuk membantu mengatasi tantangan emisi karbon
Teknologi penangkapan karbon juga memainkan peran penting dalam upaya ini, di mana CO2 yang dihasilkan dari berbagai sumber seperti pembangkit listrik atau proses industri lainnya ditangkap sebelum dilepaskan ke atmosfer, dan kemudian disimpan secara aman di bawah tanah.
Meskipun teknologi-teknologi penghilangan dan penangkapan karbon ini memiliki potensi yang sangat besar dan dianggap penting di masa depan, perlu diakui bahwa biaya yang dibutuhkan untuk implementasinya saat ini masih sangat mahal.
Selain itu, kapasitas teknologi ini dalam menghilangkan emisi juga masih terbatas, di mana saat ini teknologi tersebut hanya mampu mengimbangi sebagian kecil dari emisi gas rumah kaca yang terus diproduksi dalam skala global.
Badan Energi Internasional (IEA) secara tegas mengingatkan bahwa teknologi-teknologi ini bukanlah solusi pengganti untuk pengurangan penggunaan bahan bakar fosil secara drastis. Reduksi emisi dari sumber utama, yaitu pembakaran bahan bakar fosil, tetap menjadi kunci utama dalam upaya mencapai net zero dan mengatasi perubahan iklim.
Upaya dan Janji Berbagai Negara
Saat ini, sekitar 145 negara di seluruh dunia telah secara resmi menetapkan atau sedang mempertimbangkan target net zero sebagai bagian dari komitmen iklim mereka. Jumlah negara ini mencakup sekitar 90% dari total emisi global, menunjukkan adanya kesadaran dan komitmen yang meluas terhadap isu perubahan iklim. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua negara menetapkan tahun 2050 sebagai tenggat waktu untuk mencapai net zero.
Baca Juga: Mengapa Kompensasi Karbon Seringkali Berakhir dengan Mengecewakan?
Contohnya, China, yang saat ini merupakan negara produsen CO2 terbesar di dunia, menargetkan untuk mencapai "netralitas karbon" pada tahun 2060. Rencana rinci China untuk mengurangi emisi masih dalam tahap pengembangan, namun kemajuan signifikan telah terlihat dalam penjualan kendaraan listrik dan pertumbuhan sektor energi terbarukan di negara tersebut.
Amerika Serikat, yang secara historis merupakan penghasil karbon terbesar dan masih menghasilkan emisi per kapita yang lebih tinggi dibandingkan China, juga telah membuat janji untuk mencapai net zero pada tahun 2050.
Sebagai langkah konkret untuk mewujudkan komitmen ini, pada Agustus 2022, pemerintah AS mengumumkan paket investasi hijau besar yang dikenal sebagai Undang-Undang Pengurangan Inflasi. Undang-undang ini bertujuan untuk mendorong pengembangan energi terbarukan dan teknologi bersih lainnya melalui berbagai insentif dan program dukungan.
Uni Eropa, sebagai penghasil CO2 terbesar ketiga di dunia, juga memiliki target net zero pada tahun 2050. Pada Maret 2023, Uni Eropa mengumumkan paket investasi hijau mereka sendiri yang disebut Undang-Undang Industri Net Zero, yang dirancang untuk mempercepat transisi energi bersih di kawasan Eropa.
Negara-negara lain seperti Rusia dan India juga merupakan penghasil emisi yang signifikan secara global. Rusia telah berjanji untuk mencapai net zero pada tahun 2060, sementara India menargetkan tahun 2070. Meskipun demikian, kebijakan dan langkah-langkah konkret yang telah diterbitkan oleh kedua negara ini untuk mendukung pencapaian target tersebut masih sangat terbatas.
Masalah dengan Target Net Zero
Meskipun target net zero menjadi tujuan bersama secara global, terdapat berbagai kontroversi dan tantangan terkait dengan bagaimana beberapa negara dan perusahaan merencanakan untuk mencapainya.
Salah satu contohnya adalah praktik penghitungan emisi di mana suatu negara mungkin mencatatkan emisi yang lebih rendah jika mereka lebih banyak mengimpor barang-barang padat energi dari negara lain daripada memproduksi barang-barang tersebut di dalam negeri.
Dalam skenario ini, meskipun emisi domestik terlihat menurun, pada kenyataannya, jumlah total gas rumah kaca yang masuk ke atmosfer secara global mungkin tidak berkurang secara signifikan.
Selain itu, skema kompensasi karbon yang memungkinkan negara atau perusahaan mencapai target net zero dengan membayar pihak lain untuk mengurangi emisi mereka juga menimbulkan perdebatan.
Contohnya adalah melalui pendanaan proyek penanaman pohon di negara lain. Meskipun skema ini bertujuan untuk memberikan kontribusi positif terhadap pengurangan emisi global, efektivitas sebenarnya dari skema-skema ini seringkali dipertanyakan dan menjadi sumber kekhawatiran.
Baca Juga: Termasuk ‘Batubara Terbalik’, Ini Upaya Inggris untuk Pangkas Hampir 90 Persen Emisi Karbonnya
Beberapa ilmuwan iklim juga menyampaikan kekhawatiran bahwa fokus yang berlebihan pada target net zero pada tahun 2050 atau tahun-tahun setelahnya dapat mengalihkan perhatian dari kebutuhan mendesak untuk melakukan pengurangan emisi secara cepat dan signifikan saat ini.
Mengingat kondisi dunia saat ini yang masih jauh dari jalur yang diperlukan untuk memenuhi tujuan iklim yang telah ditetapkan, tindakan segera dan ambisius dalam pengurangan emisi menjadi sangat krusial.
Apa Arti Net Zero bagi Individu?
Meskipun perubahan sistemik yang paling signifikan dalam upaya mencapai net zero harus datang dari pemerintah dan sektor industri, setiap individu juga memiliki peran penting yang dapat dimainkan. Kontribusi individu, meskipun tampak kecil secara terpisah, akan memberikan dampak kolektif yang besar jika dilakukan secara bersama-sama.
Beberapa tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh individu untuk membantu mencapai net zero meliputi:
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News: https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
KOMENTAR