Koreografer China Yang Liping merupakan nama yang amat tenar di China pada tahun 1980-an saat tariannya yang terkenal ‘Spirit of The Peacok\' berhasil menangkap imajinasi masyarakat di negaranya. Legenda tari ini mengatakan latar belakang etnis minoritasnya telah memberi kontribusi pada karya terbarunya, ‘Under Siege’.
Duduk di ruang rias di belakang panggung di Pusat Seni Melbourne, penari dan koreografer, Yang Liping menerawang kembali pada kenangan di masa kecilnya.
"Masa kecil saya penuh dengan kesulitan, tapi semua anggota keluarga saya masih sempat melewatkannya dengan bergembira bernyanyi dan menari," katanya.
Kesulitan tersebut termasuk membantu membesarkan saudara kandungnya setelah ayahnya tiba-tiba saja meninggalkan keluarga saat ia masih sangat muda.
Baca juga: Batik Menjadi Primadona di Museum Tekstil George Washington University
Namun, kecintaannya yang tidak pernah terpuaskan terhadap lagu dan tarian telah menuntunnya pada sebuah karir di panggung pementasan, yang dimulai dengan sebuah undangan untuknya pada tahun 1971 untuk bergabung dengan \'Xishuangbanna Prefecture Song and Dance Troupe\' – sebuah ansambel yang mempertemukan puluhan anak-anak dari berbagai latar belakang etnis.
Yang Liping adalah anggota ensambel itu dari kelompok etnis minoritas di China, Bai, yang mayoritas tinggal di Propinsi Yunnan di China selatan. Menurut sensus di negaranya tahun 2010, kelompok etnis Bai hanya menyumbang 0,145 persen dari total populasi negara tersebut.
Dari China selatan, dia akhirnya melakukan perjalanan jauh ke utara, di mana dia mulai bekerja dan belajar menari di Beijing.
Peralihan dari menari di kaki pegunungan di kampung halamannya untuk belajar secara formal di Beijing sangat sulit.
"Kelas balet ensemble dan latihan fisik membuat saya merasa tidak tahu bagaimana untuk menari lagi," jelasnya.
"Tubuh saya semakin kaku dan gerakan fisik saya menjadi semakin mekanis.
"Saya kehilangan semangat dalam rutinitas itu."
Karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan rezim pelatihan yang terbatas, dia memutuskan untuk berhenti dari kelas ensambel dan mencoba menemukan kembali gairahnya.
Putri Merak
Bebas dari rutinitas belajar di kelas, Yang Liping mulai membuat bahasa fisiknya sendiri dengan menggunakan media tarian. Dia menggabungkan bahasa itu dengan kenangan akan kampung halamannya.
"Membuat seni adalah tentang menemukan gaya unik Anda, jadi saya menafsirkan ulang tarian merak tradisional dari kampung halaman saya dan menjadikannya sebagai kekhasan saya."
Baca juga: Kastel Good Hope, Mahakarya VOC di Benua Hitam
Yang Liping pertama kali mempresentasikan tarian Spirit of the Peacock-nya ke khalayak pada tahun 1986, dan tahun berikutnya dia diminta untuk tampil di stasiun TV Central di China pada acara Gala malam Tahun Baru yang disiarkan di seluruh negeri.
Orang-orang mulai memanggilnya dengan panggilan kesayangan ‘Putri Merak’.
Menurut Yang Liping alam menjadi semakin penting bagi keahliannya.
"Saya mengikuti angin bertiup untuk mempelajari irama, dan kemudian melihat awan yang berarak untuk belajar bagaimana mengayunkan tubuh kita, dan melihat burung merak yang indah untuk belajar mengepakkan lengan kita sebagai sayap.
"Saya belajar dari sekolah kehidupan - dari gerakan semut kecil dan menemukan inspirasi menari saya dari capung."
Namun demikian, karya terbaru Yang Liping, difokuskan pada pengamatannya terhadap masyarakat modern.
Lakon 'Under Siege'
Under Siege didasarkan pada sebuah cerita dari sejarah kuno China: The Chu-Han Contention - sebuah perang antara dua negara yang bersaing untuk mendapatkan dominasi.
Cerita cinta di seputar masa perang antara pemimpin Chu Xiang Yu dan selirnya Yu Ji yang sangat terkenal setelah didramatisir di opera Peking ‘Farewell My Concubine’ (Selamat Tinggal Selirku).
Artikel terkait: Berkunjung ke Rumah Budaya Desa Sambong
Di mata Yang Liping, cerita berusia 2000 tahun itu sama relevannya dengan hari ini.
"Meskipun perang ini terjadi 2000 tahun yang lalu, masih banyak peperangan yang terjadi, begitu banyak pengungsi miskin dan kehilangan tempat tinggal, karena itulah kami meletakkan cerita ini di atas panggung, saya ingin menunjukkan sisi gelap dari realitas kami."
Untuk mencapai visinya, Yang merekrut sutradara peraih Oscar Tim Yip untuk mengerjakan desain kostum, begitu juga dengan seniman instalasi Liu Beili untuk merancang panggung dan alat peraga, dan direktur teater ternama, Tian Qinxin sebagai konsultan.
Gender dan keragaman etnis
Yang Liping mengatakan bahwa latar belakang etniknya memberi tahu keragaman tim yang dia bawa bersama untuk pementasan lakon ‘Under Siege’, yang mencakup para pemain dengan latar belakang etnis yang berbeda.
Dia juga menantang norma gender, dengan bersikeras menjadikan seorang aktor laki-laki memainkan peran selir Yu Ji, dan mendorong seniman instalasi Liu Beili untuk menciptakan bagian-bagian yang keras dan kuat untuk menghiasi panggung, termasuk puluhan ribu gunting yang tergantung di atas panggung, dan bulu merah ke digunakan sebagai darah
"Karya seni seorang wanita juga bisa jadi kejam dan kuat."
Selama kunjungannya ke Australia, Yang Liping mengatakan bahwa dia merasakan adanya hubungan antara etnis minoritas Yunnan dengan penduduk asli Australia (Aborijin).
"Di provinsi Yunnan, ada kelompok etnis minoritas bernama Wa. Penampilan, adat istiadat, tarian, dan bahkan musik mereka serupa dengan orang asli Australia (Aborijin)."
Bahkan tanpa bahasa tutur yang sama, Yang berharap bisa berkomunikasi dengan masyarakat Australia melalui tarian.
Artikel terkait: Mungkinkah Leonardo da Vinci Melukis Lukisan "Mona Lisa Telanjang"?
"Tari adalah apa yang saya gunakan untuk berkomunikasi dengan dunia luar, terutama saat saya datang ke negara dengan hambatan bahasa.
"Tidak masalah dari kelompok etnis mana saya berasal - saya menggunakan tarian sebagai bahasa saya untuk berkomunikasi dengan audiens dari semua latar belakang."
Artikel ini sudah pernah tayang di australiaplus.com dengan judul Legenda Tari dari China Gelar Pementasan di Melbourne.
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR