Ketika menciptakan tikus dengan mutasi yang sama, mereka menemukan bahwa hewan tersebut menghabiskan lebih sedikit waktu untuk tidur. Dan dalam uji perilaku, kehilangan masalah memori yang biasanya terjadi setelah tidur malam yang pendek.
Tim juga menemukan dua mutasi berbeda pada gen yang disebut GRM1, pada dua keluarga yang tidak berhubungan dengan siklus tidur yang pendek. Sekali lagi, tikus yang direkayasa dengan mutasi tersebut tidur lebih sedikit, tanpa konsekuensi kesehatan yang jelas.
Seperti tikus, orang yang secara alami tidurnya pendek tampaknya kebal terhadap efek buruk kurang tidur. Kalau begitu, mereka melakukannya dengan sangat luar biasa. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang seperti itu ambisius, energik, dan optimis. Mereka memiliki ketahanan luar biasa terhadap stres dan ambang batas yang lebih tinggi terhadap rasa sakit. Mereka bahkan mungkin hidup lebih lama.
Berdasarkan temuan pada orang yang waktu tidurnya pendek, peneliti berpikir mungkin sudah saatnya untuk memperbarui model tidur dua proses yang lama. Maka Ptáček mengembangkan gagasan tentang pengaruh ketiga.
Model yang diperbarui mungkin akan seperti ini: Di pagi hari, jam sirkadian menunjukkan saatnya memulai hari, dan homeostasis tidur memberi sinyal bahwa Anda sudah cukup tidur untuk bangun dari tempat tidur.
Lalu faktor ketiga—dorongan perilaku—memaksa Anda keluar dan mengerjakan pekerjaan, atau mencari jodoh, atau mengumpulkan makanan. Pada malam hari, proses berlangsung sebaliknya, yaitu menenangkan tubuh agar siap tidur.
Mungkin orang yang waktu tidurnya pendek begitu terdorong sehingga mereka mampu mengatasi proses bawaan yang membuat orang lain tetap di tempat tidur. Tetapi mungkin juga, entah bagaimana, otak orang yang tidurnya pendek dirancang untuk tidur sangat efisien. Mereka mampu melakukan lebih banyak hal dengan lebih sedikit waktu.
Tidur yang efisien
“Tidak ada yang ajaib dalam tidur Anda selama 7 hingga 8 jam,” kata Phyllis Zee, direktur Pusat Pengobatan Sirkadian dan Tidur di Universitas Northwestern. Zee dapat membayangkan banyak cara agar otak orang yang kurang tidur bisa lebih efisien.
Apakah mereka memiliki lebih banyak tidur gelombang lambat, tahap tidur yang paling memulihkan? Apakah mereka menghasilkan lebih banyak cairan serebrospinal, cairan yang membasahi otak dan sumsum tulang belakang. Sehingga memungkinkan mereka membuang lebih banyak produk limbah? Apakah tingkat metabolisme mereka berbeda, sehingga membantu mereka masuk dan keluar dari tidur lebih cepat?
“Yang penting adalah efisiensi, efisiensi tidur—itulah yang saya rasakan,” kata Fu. “Apa pun yang dibutuhkan tubuh mereka saat tidur, mereka dapat melakukannya dalam waktu singkat.”
Penelitian terbaru Fu dan Ptáček menunjukkan bahwa orang yang waktu tidurnya pendek secara alami mungkin lebih efektif dalam membuang agregat otak beracun. Agregat otak beracun itu berkontribusi terhadap gangguan neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer.
Peneliti mengawinkan tikus yang memiliki gen tidur pendek dengan tikus yang membawa gen yang membuat mereka rentan terhadap Alzheimer. Tikus penderita Alzheimer mengembangkan penumpukan protein abnormal—plak amiloid dan jalinan tau. Pada manusia, protein abnormal itu merupakan ciri khas demensia. Tetapi otak tikus hibrida mengembangkan lebih sedikit kekusutan dan plak ini, seolah-olah mutasi tidur melindungi hewan tersebut.
Rahasia tidur yang lebih nyenyak
Belum jelas bagaimana gen tidur pendek yang diidentifikasi melindungi orang dari efek buruk kurang tidur. Atau bagaimana mutasi pada gen ini membuat tidur lebih efisien. Untuk mendapatkan jawabannya, Fu dan Ptáček mulai membawa orang-orang yang waktu tidur pendek ke laboratorium. Mereka pun mengukur gelombang otak saat tidur. Studi tidur mereka terganggu oleh pandemi Covid-19, tetapi mereka bersemangat untuk kembali ke jalurnya.
Para peneliti juga tertarik untuk memahami anomali tidur lainnya. Durasi tidur, seperti kebanyakan perilaku, mengikuti kurva yang indah. Orang yang waktu tidurnya pendek berada pada satu ujung kurva. Sedangkan orang yang tidurnya panjang berada di ujung yang lain.
Ia menemukan satu mutasi genetik yang berhubungan dengan tidur panjang. Namun orang yang waktu tidurnya panjang sulit untuk diteliti karena jadwal mereka tidak sesuai dengan norma dan tuntutan masyarakat. Orang yang waktu tidurnya lama sering kali terpaksa bangun pagi untuk pergi sekolah atau bekerja. Hal ini dapat mengakibatkan kurang tidur dan dapat menyebabkan depresi dan penyakit lainnya.
Tetapi meskipun tidur memiliki komponen genetik yang kuat, tidur juga dapat dibentuk oleh lingkungan. Mengetahui bahwa tidur yang lebih baik itu mungkin dapat menunjukkan jalan bagi intervensi untuk mengoptimalkan tidur. Alhasil, lebih banyak orang dapat hidup lebih lama dan lebih sehat.
Untuk saat ini, para peneliti menyarankan agar orang-orang berfokus pada perolehan jumlah tidur yang mereka butuhkan. Peneliti juga menyadari bahwa hal jumlah tidur akan berbeda bagi setiap orang. Ptáček masih tidak setuju saat mendengar seseorang berkhotbah bahwa setiap orang harus tidur 8 jam semalam. “Itu seperti mengatakan semua orang dalam populasi harus memiliki tinggi 180 cm,” katanya. “Bukan seperti itu cara kerja genetika.”
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR